ANALISIS TRAGEDI LUMPUR LAPINDO DARI PRESPEKTIF PELANGGARAN HAM



Lumpur Lapindo Kesalahan Teknis Pengeboran
Bukan Bencana Alam


Tragedi ‘Lumpur Lapindo’ dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50.000 meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar).
Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur panas tersebut. Pertama, adalah aspek teknis. Pada awal tragedi, Lapindo bersembunyi di balik gempa tektonik Yogyakarta yang terjadi pada hari yang sama. Hal ini didukung pendapat yang menyatakan bahwa pemicu semburan lumpur adalah gempa Yogya yang mengakibatkan kerusakan sedimen. Namun, hal itu dibantah oleh para ahli, bahwa gempa di Yogyakarta yang terjadi karena pergeseran Sesar Opak tidak berhubungan dengan Surabaya. Akhirnya, kesalahan prosedural yang mengemuka, seperti dugaan lubang galian belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai sampul. Hal itu diakui bahwa semburan gas Lapindo disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo harus sudah memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki. Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka belum memasang casing 9-5/8 inci. Akhirnya, sumur menembus satu zona bertekanan tinggi yang menyebabkan kick, yaitu masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur. Jika hal itu benar maka telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran yang berarti pula telah terjadi kesalahan pada prosedur operasional standar.
Kedua, aspek ekonomis. Dalam kasus semburan lumpur panas ini, Lapindo diduga “sengaja menghemat” biaya operasional dengan tidak memasang casing. Jika dilihat dari perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan Lapindo.
Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur: genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi; rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.
Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker. Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.
Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Perpecahan warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, teori konspirasi penyuapan oleh Lapindo, rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur setelah skenario penanganan teknis kebocoran 1 (menggunakan snubbing unit) dan 2 (pembuatan relief well) mengalami kegagalan.

Argumen:
Kasus Lumpur Lapindo Brantas terjadi pelanggaran HAM sesuai dengan ketentuan Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang nomer 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sesuai dengan Undang-undang nomor 39 Tahun 1999, dalam kasus Lumpur Lapindo Brantas terjadi pelanggaran HAM yaitu:
1.    Hak untuk hidup. Masyarakat tidak dapat meningkatkan taraf hidupnya karena mereka kehilangan mata pencahariannya, tidak bisa hidup tentram, damai, bahagia dan sejahtera serta luapan lumpur berakibat pada gangguan kesehatan pada mereka karena lumpur mengandung logam berat yang membahayakan kesehatan.
2.    Hak memperoleh keadilan. Pemerintah seperti tidak menindak tegas kepada PT Lapindo Brantas untuk segera menyelesaikan ganti rugi/bertanggung jawab kepada masyarakat atas kasus tersebut, sehingga pemerintah seperti tidak peduli dan masyarakat tidak memperoleh keadilan.
3.    Hak rasa aman. Selain luapan lumpur yang membuat masyarakat tidak aman, terjadi masalah lain dari kasus tersebut misalnya perpecahan warga yang menyangkut ganti rugi sehingga membuat masyarakat tidak aman.
4.    Hak atas kesejahteraan. Kehidupan masyarakat di sekitar luapan lumpur lapindo menjadi tidak sejahtera karena selain mereka kehilangan harta benda juga kehilangan mata pencaharian dan sampai saat ini ganti rugi yang diberikan kepada masyarakat juga belum dilunasi.
Menurut UU 26/2000 menjelaskan bahwa  ada dua macam pelanggaran HAM berat yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam kasus Lumpur Lapindo, terjadi “kejahatan terhadap kemanusiaan”. Kasus Lumpur Lapindo sesuai dengan Pasal 9 UU 26/2000 yang menyebutkan, ‘Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, serta point d yaitu pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
Telah disebutkan daam UU nomor 26 tahun 2000 kategori ‘meluas’ jelas terpenuhi dalam kasus Lumpur Lapindo. Hal ini terbukti akibat luapan lumpur panas yang tidak bisa dihentikan, mengakibatkan area yang terkena lumpur semakin luas.
Kriteria kedua adalah ‘ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.’ Dalam hal ini masalah tentang kebijakan pemeritah berupa pemberian izin terhadap pemboran eksplorasi di sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), milik PT. Lapindo Brantas Inc. (LBI). Sumur ini sudah bermasalah. Posisi sumur BJP-1 tidak sesuai dengan rencana tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk kegiatan industri non-kawasan, bukan untuk pertambangan dan informasi yang disampaikan oleh pihak perusahaan kepada warga bahwa tanah lokasi sumur BJP-1 dibeli bukan untuk pengeboran, tetapi untuk kandang ayam. Tetapi pemerintah tetap memberikan izin.
Hal terakhir memenuhi kategori Pasal 9 UU 26/2000 ayat d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. Kesemua korban yang disebutkan di atas mengalami perpindahan secara terpaksa dan hal ini memberikan dampak yang sangat mendalam terhadap kehidupan ekonomi, budaya, dan psikis mereka.

Kesimpulan:
PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam berbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya dan tidak dapat dibayangkan, dimana ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Sehingga Kasus Lumpur Lapindo terjadi pelanggaran HAM yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan sesuai Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maka kasus tersebut juga dapat digolongkan dalam kasus pelanggaran HAM berat karena terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.

Saran:
PT Lapindo Brantas Inc tetap harus menyelesaikan pertanggung jawaban atas ganti rugi dan atas hukum dari kasus tersebut. Selain PT. Lapindo, juga Pemerintah Daerah (Gubernur) dan Pemerintah Pusat, yang harus segera mencari solusi atau jalan keluarnya, sebagai penanggulangan dari dampak pencemaran luapan Lumpur lapindo, yaitu keterkaitan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, didalam hal pemberian izin. Pemerintah harus mengambil langkah untuk menutup PT Lapindo Brantas Inc, membebankan tanggung jawab penuh dalam penyelesaian masalah lumpur panas, PT Lapindo Brantas Inc harus menjamin sepenuhnya hak hidup masyarakat korban dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup akibat lumpur panas yang sampai sekarang belum dapat diatasi, aparat penegak hukum konsisten dalam mengusut aspek kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas Inc, Presiden melalui ESDM, Dirjen Migas, dan BP Migas, bertanggungjawab untuk memastikan penyelesaian masalah lumpur panas tanpa membebani anggaran belanja negara maupun daerah, mengkaji ulang seluruh perundang-undangan yang terkait dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral dan menempatkan aspek keselamatan dan kesejahteraan rakyat serta keselamatan dan lingkungan hidup sebagai prioritas pertama dan utama serta meninjau kembali kelayakan proyek-proyek tersebut.
Komnas HAM tidak sebatas selaku penyelidik, tapi juga sebagai penyidik dan penuntut dalam kasus pelanggaran HAM berat.

0 Response to "ANALISIS TRAGEDI LUMPUR LAPINDO DARI PRESPEKTIF PELANGGARAN HAM"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel